Disusun oleh:
Arnold
Sebastian 1701306455
Brenda 1701326740
Inas
Joesi Burnia 1701362651
Muhammad
Rizki Affan 1701311410
Stefani 1701356775
Yvonne
Michelle Chen 1701353836
UNIVERSITAS BINA NUSANTARA
JAKARTA
2015
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Pada hakekatnya, manusia
dilahirkan di dunia ini dengan kesamaan hak, yaitu hak untuk hidup. Tuhan YME
memberikan keadilan kepada semua makhluk-Nya dengan memberikan mata untuk melihat, hidung untuk
bernafas, telinga untuk mendengar dan mulut untuk berbicara. Ini diberikan oleh
Tuhan YME semata-mata agar manusia dapat memiliki kesamaan hak diantara mereka
sehingga tidak ada yang merasa terzalimi atau riya. Dalam perjalanannya,
keadilan menjadi barang langka untuk ditemui, terutamaa dalam dunia pekerjaan.
Fenomena diskrimininasi dalam
dunia kerja sudah menjadi hal yang biasa dialami oleh pekerja maupun calon
pekerja yang akan mendaftar pekerjaan. Macam-macam diskriminasi dalam dunia
kerja antara lain: diskriminasi gender, agama, suku, ras dan berdasarkan
atribut sosial lainnya seperti hubungan dalam keluarga. Hal seperti ini sering
kita jumpai di lingkungan sekitar kita, bahkan dari orang terdekat kitapun
mungkin pernah mengalaminya. Diskriminasi sangatlah bertentangan dengan moral
kehidupan berkemanusiaan, yaitu keadilan. Penilaian terhadap seseorang menjadi
lebih subyektif terhadap aspek-aspek yang tidak berkaitan dengan kompetensi
dari seseorang melainkan dari aspek-aspek di luar itu.
Pemikiran-pemikiran yang akan
disampaikan berkaitan dengan topik ini akan membawa kita pada pertimbangan
bahwa praktek-praktek diskriminasi dalam dunia kerja bertentangan dengan
berbagai ajaran etika, baik etika utilitarian, etika yang didasarkan pada pertimbangan
baik dan deontologi. Etika utilitarian menganjurkan perilaku suatu bisnis dan
kerja yang baik bila bisnis atau kerja itu dapat menguntungkan semakin banyak
orang. Untuk mencapai tujuan etis tersebut, maka instrumen yang dipakai harus
berdasarkan prinsip-prinsip yang relevan dengan tujuannya. Jika melakukan
praktek diskriminasi, prinsip-prinsip relevan tersebut bisa saja diabaikan.
Resikonya adalah bisnis dapat mempekerjakan seseorang yang tidak relevan dengan
tujuan itu sendiri.
Ada juga dari etika yang
didasarkan pada pertimbangan baik atau etis. Pertimbangan etika ini juga dapet
ditelusuri dalam refleksi mengenai keadilan. Prinsip utama dalam sebuah
keadilan adalah semua orang mendapatkan perlakuan yang fair. Maksudnya fair apa yang didapat dari seseorang
sesuai dengan porsi yang harus mereka terima.
Selain etika utilitarian dan
etika yang didasarkan pada pertimbangan baik atau etis, diskriminasi juga
berlawanan dengan etika deontologi. Etika deontologi menganjurkan praktek
bisnis dan kerja sesuai dengan norma yang mewajibkan setiap orang untuk
melakukannya. Dalam era masyarakat madani, tidak ada norma yang membenarkan
perlakuan diskriminasi. Semua orang setuju perlakuan diskriminasi dalam dunia
kerja tidak sesuai dengan norma-norma dalam dunia kerja.
Pertimbangan-pertimbangan baik atau etis ini adalah karena praktek diskriminasi
bertentangan dengan harkat dan martabat manusia semata-mata sebagai manusia dan
bukan berdasarkan berbagai kategori-kategori yang bersifat sekunder.
1.2. Tujuan
Permasalahan
Berdasarkan
dari latar belakang permasalahan di atas, ada beberapa tujuan permasalahan yang
menjadi pertanyaan dari kami:
1)
Apakah
arti sesungguhnya dari diskriminasi di
dalam sebuah
pekerjaan?
2)
Apakah
seorang individu sedang terlibat atau
merupakan korban
dari Job Discrimination?
3)
Bagaimana
cara seseorang untuk mengatasi Job
Discrimination baik bagi pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak?
2.
PEMBAHASAN
Diskriminasi hampir sama dengan prasangka, bahkan kadang-kadang
kedua istilah tersebut digunakan secara bergantian. Perbedaan keduanya adalah
bahwa kalau prasangka itu adalah sikap (attitude) 11 sedangkan diskriminasi
adalah tindakan (action). Watson (1984) menyatakan bahwa diskriminasi adalah
perlakuan negatif terhadap kelompok tertentu. Sedangkan Brigham (1991)
menyatakan bahwa diskriminasi adalah perlakuan secara berbeda karena
keanggotaannya dalam suatu kelompok etnic tertentu. Kelompok etnic tersebut
diantaranya adalah suku, bahasa, adat istiadat, agama, kebangsaan dan lainnya.
Swim (dalam Baron & Byrne, 1997) menyatakan bahwa diskriminasi
adalah tindakan negatif terhadap orang yang menjadi objek prasangka seperti
rasial, etnik dan agama. Dapat dikatakan diskriminasi adalah prejudice in
actions. Menganggap orang negro itu bodoh adalah prasangka sedangkan melarang
mereka bekerja atau bersekolah pada lembaga tertentu karena mereka berkulit
hitam adalah diskriminasi. Menganggap wanita sebagai kaum lemah adalah
prasangka sedangkan menghalangi mereka untuk menjadi pemimpin adalah
diskriminasi.
Pada
dasarnya, diskriminasi berarti pelayanan tidak adil terhadap individu tertentu.
Pelayanan tidak adil tersebut misalnya berupa mencegah seseorang memenuhi
aspirasi profesional tanpa memedulikan prestasi yang dimilikinya biasanya
karena melihat suatu aspek kasat mata (ras, jenis kelamin, agama dan lain-lain)
tertentu memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan kelompok orang dengan
karakteristik yang lain.
Diskriminasi
tidak terjadi begitu saja. Menurut Yahya (2006:248 - 249), sebab-sebab
diskriminasi, yaitu:
1)
Mekanisme pertahanan psikologi
(projection)
Seseorang memindahkan kepada
orang lain ciri-ciri yang tidak disukai tentang dirinya kepada orang lain.
2)
Kekecewaan
Setengah orang yang kecewa akan
meletakkan kekecewaan mereka kepada ‘kambing hitam’.
3)
Mengalami rasa tidak selamat dan
rendah diri
Mereka yang merasa terancam dan
rendah diri untuk menenangkan diri maka mereka mencoba dengan merendahkan orang
atau kumpulan lain.
4)
Sejarah
Ditimbulkan karena adanya
sejarah pada masa lalu.
5)
Persaingan dan eksploitasi
Masyarakat kini lebih
materialistik dan hidup dalam persaingan. Individu atau kumpulan bersaing
diantara mereka untuk mendapatkan kekayaan, kemewahan dan kekuasaan.
6)
Corak sosialisasi
Diskriminasi juga adalah
fenomena yang dipelajari dan diturunkan dari satu generasi kepada generasi yang
lain melalui proses sosialisasi. Seterusnya terbentuk suatu pandangan stereotype tentang peranan sebuah bangsa
dengan yang lain dalam masyarakat, yaitu berkenaan dengan kelakuan, cara
kehidupan dan sebagainya. Melalui pandangan stereotype
ini, kanak-kanak belajar menghakimi seseorang atau sesuatu ide.
Dalam
dunia kerja terdapat beberapa praktek diskriminasi, yaitu:
a.
Praktek Rekrutmen
Praktek
rekrutment akan bersifat diskriminatif kalau rekrutment dilakukan hanya
berdasarkan informasi dari mulut ke mulut. Karena pekerjaan yang memperoleh
informasi tersebut akan cenderung merekrut orang-orang yang berasal dari
golongan atau kelompoknya saja baik dari segi jenis kelamin, agama, ras, etnis,
dan kategori sosial lainnya. Praktek seperti ini secara tidak langsung akan
menimbulkan diskriminasi sosial.
b.
Screening Practices
Proses
ini berkaitan dengan kualifikasi pekerjaan. Sebuah kualifikasi pekerjaan akan
disebut diskriminatif bila kualifikasi-kualifikasi yang dibuat tidak relevan
dengan pekerjaan yang akan dilakukan.
c.
Promotion Practices
Promosi,
kemajuan kerja, dan praktek perpindahan bersifat diskriminatif bila para
pemimpin mengabaikan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat profesional dan
menggantinya dengan pertimbangan yang tidak relevan dangan syarat kerja.
d.
Condition of Employment
Kondisi
pekerjaan berkaitan dengan sistem upah atau gaji yang bersifat diskriminatif.
Sebuah upah atau gaji dapat disebut diskriminatif bila diberikan dengan cara
atau jumlah yang berbeda kepada orang yang berbeda dengan kondisi dan beban
kerja yang sama. Idealnya setiap kondisi dan beban kerja yang sama harus
diberikan upah dengan standar yang sama.
e.
Discharge
Pemberhentian
karyawan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan primordial merupakan sebuah tindakan
yang bersifat diskriminatif. Pemecatan seharusnya diberlakukan kepada setiap
orang yang tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai karyawan sesuai dengan
kontrak kerjanya.
Ada beberapa teori diskriminasi
dalam dunia kerja, yaitu:
a.
Utilitarianisme
Kalau
penerimaan dan penempatan karyawan tidak didasarkan pada kompetensi yang mereka
miliki (The Right Man on The Right Place),
terutama pada era pasar bebas, dimana persaingan sangat ketat, maka hal itu
akan merugikan perusahaan sendiri. Artinya kalau perusahaan lebih mengutamakan
faktor-faktor lain, selain kualitas karyawan, maka dia bisa ketinggalan dalam
kompetisi global. Kalau diskrimasi dalam perusahaan dibiarkan terus, dampaknya
akan semakin besar, sehingga menciptakan suatu situasi yang tidak sehat, yang
akhirnya akan merugikan masyarakat. Kalau rasisme, sektarianisme, atau
sukuisme, dan banyak isme lain lagi dipraktekkan, maka situasi akan menjadi
semakin tidak baik dan menimbulkan kekacauan masyarakat.
b.
Deontologi
Diskriminasi
menghina martabat dari orang yang didiskriminasi. Dalam pemahaman manusia
sebagai persona, manusia adalah sesuatu yang bernilai dalam dirinya sendiri,
yang harus diakui dan dihormati. Mendiskriminasi seorang karyawan karena alasan
yang tidak relevan dengan pekerjaan (umpamanya karena warna kulit, jenis
kelamin, agama, dan lain sebagainya), hal itu telah menyamakan orang itu dengan
satu ciri saja, dan tidak menghormatinya sebagai manusia. Padahal banyak hal
dalam diri kita bukanlah pilihan kita, dan dengan demikian tidak tergantung
dari kebebasan kita dan walaupun ciri lain seperti agama, keyakinan politik
adalah pilihan bebas seseorang, namun menjadikan hal tersebut sebagai dasar
tindakan diskriminasi, merupakan pelecehan terhadap martabat atau hak asasi
seseorang.
c.
Keadilan
Jhon Rawls memahami keadilan
sebagai fairness. Menurut Adam Swift1
yang dimaksudkan dengan fairness oleh
Rawls adalah “The original position and
the veil of ignorance”. Berkaitan dengan kedua aspek keadilan tersebut
Rawls2 mengemukakan bahwa
dalam kondisi asali dan ketidakberpengetahuan tidak seorangpun tahu tempat,
posisi atau status sosialnya dalam masyarakat, tidak ada pula yang tahu
kekayaannya, kecerdasannya, kekuatannya, tidak seorangpun diuntungkan atau
dirugikan. Setiap orang dalam kondisi seperti itu memiliki peluang yang sama.
Dengan adanya situasi asali ini, relasi semua orang bersifat simetris dan oleh
karena itu situasi awal ini adalah fair antara individu sebagai person moral,
yakni sebagai makhluk rasional dengan tujuan dan kemampuan mereka mengenali
rasa keadilan. Posisi asal ini dapat dikatakan merupakan status quo awal yang
pas, sehingga persetujuan fundamental yang dicapai di dalamnya adalah fair.
1 Swift,
Adam (2001), Political Philosophy, A Beginner’s Guide for Students and
Politiciants, Cambridge: Polity Press, p.21
2 Rawls,
Jhon (2006), Teori Keadilan, Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial dalam Negara (edisi terjemahan), Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, p.13
Untuk memahami penjelasan Rawls,
Swift mengilustrasikan bahwa “jika saya
tidak mengetahui potongan mana dari kue yang akan saya dapat, maka saya lebih
suka untuk memotongnya secara fair”. Atau sebaliknya kita dapat merumuskan
bahwa saya sudah mengetahui potongan mana dari kue itu yang akan saya dapat,
maka saya akan memotongnya dengan cara yang menguntungkan saya. Pengetahuan
mengenai apa yang akan menguntungkan saya dalam hal ini membuat pilihan saya
menjadi bias dan didasarkan pada kepentingan dan itu berarti pilihan saya
menjadi tidak fair bagi orang lain.
Swift selanjutnya menjelaskan
bahwa ada dua hal yang tidak diketahui oleh setiap orang yang terlibat dalam
sebuah kontrak atau persetujuan. Kedua hal itu adalah: pertama, mereka tidak
mengetahui talenta mereka, bakat-bakat alamiah mereka, dan posisi sosial
mereka. Mereka tidak mengetahui cerdas atau bodoh, atau lahir dalam keluarga
yang kaya atau miskin. Kedua, mereka tidak mengetahui konsepsi mereka mengenai
apa yang baik. Mereka tidak mengetahui apakah mereka percaya pada apa yang
membuat hidup bernilai atau apa yang berguna.
Diskriminasi bertentangan dengan
keadilan. Keadilan menuntut bahwa semua orang harus diperlakukan dengan cara
yang sama, kalau tidak ada alasan untuk memperlakukan mereka dengan cara yang
berbeda. Misalnya dalam seleksi karyawan atau promosi jabatan, semua calon
harus diberikan peluang yang sama secara fair. Mereka akan diseleksi
berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan secara terbuka. Artinya diterima
atau ditolak harus berdasarkan alasan-alasan yang relevan dan masuk akal. Bukan
karena alasan lain di luar kriteria yang sudah ditentukan.
d.
Favoritisme
Favoritisme adalah kecenderungan
mengistimewakan orang tertentu. Favoritisme merupakan bentuk diskriminasi yang
didasarkan pada preferensi. Misalnya perusahaan mau mengutamakan karyawan yang
berhubungan famili, yang satu daerah, memeluk agama yang sama, dan sebagainya.
Walaupun tidak dapat disamakan dengan diskriminasi, favoritisme dapat dengan
mudah berkembang ke arah diskriminasi juga.
3.
KASUS AKTUAL
"Age Discrimination: A
Problem in IT Hiring?
By Allan Hoffman
Not long ago, a programmer
showed up for the Monster.com technology jobs chat worried about his career. A
recruiter had told him he was too old to change jobs. His age? Just 53. His
story is becoming familiar, considering what others say about the challenge of
finding a new technology job in their 50s or 60s.
Is age discrimination a problem
in information technology jobs? Technology workers certainly think it is. The
evidence, though mainly anecdotal, points toward an industry keen on hiring
up-and-coming professionals, especially among start-ups and other high-flying
tech companies.
"Discrimination in hiring
is the most difficult type of age discrimination to prove," says Laurie
McCann, senior attorney for AARP Foundation Litigation, the arm of the
organization for older Americans that represents people in litigation.
"There's not a lot of hard evidence," she notes. "They send out
resume after resume, but they're not getting hired. They know in their hearts
it's their age."
4. ANALISA
DAN SOLUSI
4.1.Analisa
Pada kasus di atas, terdapat seorang programmer yang mengeluhkan karirnya
yang akan sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan di bidang teknologi
informasi dikarenakan pengaruh umurnya yang telah mencapai kepala lima. Tidak
sedikit orang-orang beranggapan diskriminasi umur di bidang teknologi informasi
kerap menjadi penghalang terbesar bagi orang-orang yang berumur diatas 40 tahun
untuk mencari nafkah atau bahkan hanya untuk menyalurkan passion mereka di bidang tersebut. Kecemasan ini di dukung dengan
adanya bukti, meskipun bersifat anekdot, bahwa industri kini lebih memilih
untuk mempekerjakan up-and-coming professional
tertuma dikalangan industri start-ups
dan perusahaan teknologi yang sedang naik daun.
Terdapat beberapa masalah terkait diskriminasi
umur di kasus diatas. Meskipun sudah adanya undang-undang perlindungan tenaga
kerja dan lembaga yang menangani permasalahan diskriminasi tenaga kerja, masih
saja ada celah bagi pelaku usaha dalam memilah bakal calon karyawannya. Hal ini
dibuktikan dari tidak adanya alasan mengapa seorang pelamar tidak diterima.
Meskipun tidak secara verbal dikatakan oleh perekrut, tapi jauh di atas semua
itu seseorang tetaplah seseorang yang memiliki perasaan akan penyebab tidak
diterimanya mereka di suatu perusahaan tersebut. Melihat dari latar belakang
pelamar yang berumur 40 tahun keatas, bukan tidak mungkin bahwa pribadi
tersebut penuh akan pengalaman dan keahlian yang mampu bertanding dengan para
anak muda. Dari hipotesa tersebut, tidak jarang para pelamar umur 40 tahun
keatas berpikir bahwa salah satu alasan kuat tidak diterimanya mereka adalah
factor umur yang sudah tidak lagi ‘produktif’.
Dari permasalahan diatas, terdapat beberapa
penyebab akan terjadinya diskriminasi umur di dunia kerja.
Faktor dari sisi pelamar:
1.
Para pelamar diatas 40 tahun
kerap sekali sudah kehilangan kepercayaan diri dengan mengatakan umur diatas 40
tahun tidak lagi marketable dan
produktif.
2.
Dari beberapa uji ulang curriculum vitae para pelamar diatas 40
tahun, terdapat beberapa orang yang
terlalu banyak menyebutkan keahlian mereka yang tidak dicari oleh si perekrut
dan tidak memperbaharui skills mereka
dewasa ini.
Faktor
dari sisi perekrut:
1.
Stereotype
para pelamar di atas 40 tahun yang tidak memiliki keahlian terbaru
dalam suatu bidang, memiliki gaya hidup yang kurang fleksibel dikarenakan
kendala keluarga, dan memiliki ekspektasi tinggi terhadap gaji serta
keuntungan-keuntungan yang akan didapatkan dari perusahaan.
Dari analisa kasus diatas, terdapat adanya celah
solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Dan dengan adanya kesadaran secara
pribadi baik dari sisi perekrut ataupun pelamar, akan adanya kecil kemungkinan
terjadinya diskriminasi didunia kerja salah satunya diskriminasi umur.
4.2.Solusi
1.
Meminta Perlindungan secara
hukum
Fakta-fakta
perlindungan tenaga kerja:
The Age Discrimination in
Employment Act prohibits an employer from refusing to hire, firing, or otherwise discriminating against an employee age 40 or older,
solely on the basis of age. Thus, an employer can’t deny an employee pay
or fringe benefits when the only justification is age. Nor may an employer classify
employees into groups on the basis of age in a way that unfairly deprives
workers of employment opportunities. For example, an employer may not relegate
all older workers to a particular level of employment within a company and then
decline to promote them.
Begitupun
untuk hukum diIndonesia yang melindungi para pekerja dari diskriminasi
pekerjaan ataupun perusahaan. Terdapat undang-undang perlindungan terhadap
tenaga kerja yang salah satu ayatnya berbunyi:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG
KETENAGAKERJAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a.
bahwa pembangunan nasional
dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang
sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b.
bahwa dalam pelaksanaan
pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat
penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan;
c.
bahwa sesuai dengan peranan dan
kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk
meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peransertanya dalam pembangunan serta
peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan;
d.
Bahwa perlindungan terhadap
tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan
menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar
apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan
tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha;
e.
bahwa beberapa undang-undang di
bidang ketenagakerjaan dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan
tuntutan pembangunan ketenagakerjaan, oleh karena itu perlu dicabut
dan/atau ditarik kembali;
f.
bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana tersebut pada huruf a, b, c, d, dan e perlu membentuk Undang-undang
tentang Ketenagakerjaan.
Dengan adanya hukum yang sudah tercipta baik di
Indonesia dan dunia, telah menunjukkan dukungan akan penolakkan diskriminasi
terhadap pekerjaan. Dan yang menjadi hal mendasar dari setiap perlindungan
adalah hukum dan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah untuk setiap warga
negaranya. Untuk setiap warga negara yang merasakan adanya diskriminasi dalam
dunia kerja dalam konteks apapun berhak melaporkan hal tersebut kepada pihak
yang berwajib seperti kepolisian dan KOMNAS HAM. Tentunya, dengan alasan dan
fakta yang jelas dan telah terbukti. Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya
melakukan uji hipotesis terhadap kasus yang di alami oleh si pelamar sendiri.
2.
Memanfaatkan kemajuan teknologi
Di jaman yang serba modern dan terintegrasi dengan teknologi ini,
sudah saatnya para individu berkembang bersama kemajuan teknologi dunia. Jaman dulu adalah hal yang mustahil untuk
dapat berkomunikasi oleh orang di area yang jauh. Tetapi jika kita mencoba
melihat saat ini, itu adalah hal yang sangat mudah terjadi selama adanya
sambungan jaringan dan media teknologi informasi sebagai pendukungnya. Jika
komunikasi saat ini sudah tercipta secara virtual dan online, bukanlah hal yang
mustahil untuk pekerjaan menjadi virtual dan online pula.
Dari analisa diatas, itu adalah hal yang unreasonable bagi seseorang yang sedang melamar pekerjaan dan tidak
diterima atau tidak percaya diri dikarenakan faktor usia.
“In a world where millions of developers with the same skillsets are
available via the internet, the idea that youth alone has value is simply
dumb.” ̶ Colin Dixon
Banyak
sekali pekerjaan yang sudah tersebar secara online dari berbagai belahan dunia
yang dapat diisi bagi para pelamar tua ini. Terdapat keuntungan yang didapat
jika melakukan pekerjaan secara online ketimbang melamar disuatu perusahaan.
1.
Lebih memiliki waktu yang
fleksibel antara bercengkrama dengan anggota keluarga dan mengurus
pekerjaannya.
2.
Lebih baik untuk kesehatan bagi
pelamar di atas 40 tahun karena menurunnya kecenderungan resiko jika bekerja di
lingkungan eksternal.
3.
Lebih memiliki beragam gaji yang
dapat disesuaikan dengan dirinya sendiri.
4.
Memperluas jaringan kolega
bisnis yang dapat berasal dari belahan dunia mana saja, dan lain-lain.
Dengan
solusi ini, diharapkan terbukanya peluang dan harapan bagi pelamar yang berusia
diatas 40 tahun untuk tidak hanya sekedar mencari penghasilan tetapi juga dapat
menyalurkan passion-nya di bidang
yang diinginkan.
3.
Ubah citra diri
Stereotype yang
mengatakan bahwa seorang yang berusia diatas 40 tahun tidak lagi produktif dan
memiliki kemampuan yang terbaru adalah suatu kesalahan karena faktanya terdapat
beberapa kelebihan yang dimiliki para pelamar di usia 40 tahun keatas khususnya
dibidang IT, diantaranya;
1.
Gagasan bahwa programmer lebih
tua terhambat oleh keahlian mereka yang tidak relevan adalah hal yang dapat
dikoreksi, misalnya masalah yang dapat terjadi bagi para developer muda. Jika seorang perekrut menginginkan seorang flash programmer, itu adalah hal yang mudah untuk menemukan
seseorang yang cocok di kalangan programmer
muda.
Tetapi, apa yang terjadi Jika
perekrut ingin seseoranng yang memiliki enterprise
database dan network skills? Atau
bahkan seseorang dengan track record di
bidang commercial product development?
Pada situasi ini, perekrut akan memiliki kesulitan dalam mencari bakal calon
karyawannya di kalangan programmer muda.
Berbeda jika perekrut mencari pelamar dari kalangan programmer tua yang tentunya akan lebih mudah dikarenakan programmer tua cenderung memiliki banyak
pengalaman sukses serta gagal pada bidang tersebut.
Peran pelamar diatas 40 tahun
keatas sangat berarti bagi para pencari karyawan selama para pelamar ini memang
memiliki qualified skills. Keahlian
yang berkualifikasi disini berarti seorang pelamar tersebut menyebutkan
keahlian dan pengalaman mereka yang relevan dengan pekerjaan yang ditawarkan
dan tentunya keahlian tersebut diikuti dengan perkembangan jaman dan tidak out of date.
“Look at the case of Grace Hopper. She continued to work with programming until her death at 85. I
remember seeing a 60 minutes special on her many years ago, she was a
fascinating person. If you have a
passion for doing something, then age is not a factor. For what it's worth,
I'm over 50 and see no reason to stop doing what I enjoy. There is still always
a lot to learn and I enjoy that.” ̶ Bill
5.
KESIMPULAN DAN SARAN
Diskriminasi
dalam dunia kerja sudah tidak lagi jadi hal yang tabu saat ini, terutama di
pekerjaan yang bergerak dibidang teknologi
informasi. Ada beberapa factor yang menyebabkan diskriminasi itu timbul,
yaitu mekanisme pertahanan psikologi(projection), kekecewaan, rasa tidak
selamat dan rendah diri, sejarah, persaingan dan eksploitasi, dan corak
sosialiasi. Permasalahan yang sering muncul ketika diskriminasi dalam pekerjaan
yaitu diskriminasi gender dan umur. Ketidaksetaran gender antara wanita dengan
laki-laki dalam dunia kerja masih menjadi faktor yang cukup mempengaruhi, juga
dari umur. Perusahaan beranggapan bahwa seorang pekerja yang berumur 40 tahun
atau lebih sudah melewati batas usia produktif, Namun yang pada kenyataannya
bisa saja berbanding terbalik. Diskriminasi bisa kita hindari dengan meningkatkan
kapabilitas kita sebagai sdm untuk dapat mampu terus bersaing dengan
perkembangan jaman. Dengan kita mempelajari teknologi ataupun skill yang terbaru bisa memberikan suatu
value kepada diri kita sendiri.
Sehingga kemampuan yang kita miliki tidak hanya berputar di satu tempat saja.
6.
REFERENSI
Referensi
Buku:
Tim CBDC
2014. (2014). CB: Professional
Development. Jakarta
Referensi
Website:
http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2011-02-00355-JP%20Bab%202.pdf
Referensi
artikel ilmiah/ jurnal: